Selasa, 14 November 2017

Penerapan Sistem Check and Balances Dalam Pemerintahan Indonesia

    Tugas Konstitusi 
    Kelas A
Penerapan Sistem Check and Balances Dalam Pemerintahan Indonesia
Oleh: Rizpando
NIM: 02011181621012
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya


       Pendahuluan
Thomas Hobbes mengatakan bahwa manusia pada mulanya hidup dalam suasana bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua). Omnium contra omnes tercipta karna kondisi alamiah dimana manusia hidup dalam situasi pranegara, jauh dari pemahaman tentang moral, institusi dan undang-undang.[1] Hal inilah yang menurutnya mendorong manusia untuk mendirikan sebuah negara.
Sejak zaman dahulu, Motivasi paling umum yang mendorong manusia untuk hidup dalam suatu negara adalah motivasi untuk menikmati kehidupan yang lebih baik. Negara menjadi wadah untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini terbukti dengan perkembangan pengorganisasian negara mulai dari nachwachatersataat atau negara penjaga malam sampai pada doktrin walfare state atau negara kesejahteraan yang menganjurkan tanggungjawab lebih kepada negara untuk mengurusi kesejahteraan sosial.[2]
Dalam menjalankan sebuah negara, dibutuhkan sebuah sistem pemerintahan untuk menjaga kestabilan negara. Sistem pemerintahan digunakan untuk menunjukkan bagaimana pemerintahan dalam suatu negara dijalankan. Di dalamnya terdapat sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga-lembaga negara sebagai pemegang kekuasaan negara. Menurut Carl J. Friedrich sistem adalah suatu keseluruhan terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu menimbulkan suatu ketergatungan antara bagian bagian yang akibatnya jika salah satu bagian tidak bekerja dengan baik akan memengaruhi keselurahannya itu.[3]
Apabila berbicara tentang sistem pemerintahan pada dasarnya adalah membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara lembaga-lembaga negara dalam menjalankan keuasaan negara itu, dalam  rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat. Sedangkan konsepsi awal mengenai pemisahan kekuasaan ini dapat ditelusuri  kembali dalam tulisan John Locke, “Second Treaties of Civil Goverment” (1960) yang berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. John Locke membagi kekuasaan  negara  menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan Federatif (federatif power). Selanjutnya oleh Montesquieu pemikiran John Locke diteruskan dengan mengembangkan konsep trias politica yang membagi kekuasaan negara menjadi 3 (tiga) cabang, yaitu:[4]

a.    Kekuasan Legislatif adalah sebagai pembuat undang- undang;
b.    Kekuasaan Eksekutif adalah sebagai pelaksana undang- undang;
c.    Kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan untuk menghakimi.

Pandangan Montesquieu inilah yang kemudian dijadikan doktrin separtion of power di zaman sesudahnya. Menurut Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mrncampuri urusan masing-masing. Kekuasan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif, kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif, dan demikian pula kekuasaan yudikatif hanya dilakukan oleh lembaga yudikatif.
Konsepsi trias politica ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga kekuasaan tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Kenyataanya dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin untuk tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain dengan  prinsip checks and balances.
Sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum diadakan amandemen terhadap UUD 1945 tidak mengenal check and balances, menurut Ni’matul Huda, secara substantif UUD 1945 banyak sekali mengandung kelemahan, yang mana UUD memberikan kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai oleh prinsip checks and balances yang memadai, sehingga UUD 1945 biasa disebut executive heavy, dan itu menguntungkan bagi siapa saja yang menduduki jabatan presiden.[5] Hal tersebut yang kemudian memunculkan rezim orde lama dan orde baru yang dianggap otoritarian. Sedangkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca Amandemen ke-empat UUD 1945 kekuasaan Legislatif dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selain itu Presiden juga mempunyai hak untuk mengajukan rancangan undang- undang dan turut serta dalam pembahasan rancangan undang- undang bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kekuasaan Eksekutif dilaksanakan oleh Presiden. Kekuasaan Yudikatif dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).[6]
Sistem check and balance mulai diterapkan dalam setiap cabang kekuasaan saling mengawasi dan mengimbangi pemerintahan lainnya. Prinsip pengawasan dan perimbangan ini dirancang agar tiap cabang pemerintahan dapat membatasi kekuasaan pemerintahan lainnya. Sehingga kedudukan MPR tidak lagi menjadi pusat dari segala cabang pemerintahan dan tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara yang menjalankan sepenuhnya kedaulatan rakyat. Kedudukan MPR menjadi sejajar dengan lembaga tinggi lainnya.
Tujuan dari pemisahan kekuasaan tersebut adalah untuk menghindari menumpuknya kekuasaan negara pada satu organ yang dapat meningkatkan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Dengan perkembangan ketatanegaraan dimana pemisahan kekuasaan tidak dilakukan secara murni dan telah berkembang pada pembagian kekuasaan dengan diiringi checks and balances, menurut hemat penulis, hal tersebut merupakan upaya untuk menghindari terjadinya praktek birokrasi atau tirani. Karena itu yang dibutuhkan adalah:
  1. Suatu distribusi kekuasaan (agar tidak berada dalam hanya satu tangan saja). Hal ini tersimpul dalam lingkup pengertian “trias politica” atau “distribution of power”;
  2. Suatu keseimbangan kekuasaan (agar masing-masing pemegang kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat sehingga menimbulkan tirani). Hal ini tersimpul dalam lingkup pengertian “balances”; dan
  3. Suatu pengontrolan yang satu terhadap yang lain (agar suatu pemegang kekuasaan tidak berbuat sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenang-wenangan). Hal ini tersimpul dalam lingkup pengertian “checks”.[7]
Dalam hal ini, agar terjadi suatu keseimbangan (balances) tidak hanya satu cabang pemerintahan dapat mengecek cabang pemerintahan lainnya, tetapi harus saling melakukan pengecekan satu sama lain. Jadi penerapan teori pembagian kekuasaan (distribution of power) dan teori checks and balances merupakan suatu sarana agar demokrasi dan negara hukum dapat berjalan. Kedua teori tersebut juga dijalankan dengan mensyaratkan adanya pengaturan yang tegas dalam konstitusi, sehingga sesuai dengan prinsip negara hukum yang menjalankan kekuasaan sesuai dengan hukum. Dengan demikian, teori trias politika dan teori checks and balances dijadikan sebagai doktrin inti dari suatu negara hukum.


Pengaturan dan Perwujudan Prinsip Checks and Balances di Indonesia
Salah satu tuntutan gerakan reformasi 1998 adalah diadakannya perubahan terhadap UUD Tahun 1945. Sebelum dilakukan amandemen, UUD 1945 substansinya dinilai oleh beberapa ahli hukum mengandung banyak kelemahan. Hal itu dapat diketahui antara lain, kekuasaan eksekutif terlalu besar tanpa disertai prinsip checks and balances yang memadai.[8] Dengan kondisi tersebut menguntungkan bagi siapapun yang menduduki jabatan presiden. Menurut istilah Soepomo hal tersebut : “concentration of power and responsibility upon the president”.

Reformasi 1998 telah mempengaruhi kehidupan bernegara, dimana dalam tataran lembaga tinggi negara, muncul kesadaran untuk memperkuat proses checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan negara. Perwujudan prinsip checks and balances yang termuat dalam UUD 1945 pasca amandemen, dimulai dengan berubahnya kelembagaan dan kewenangan MPR. Sebelumnya, MPR yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat, merupakan lembaga tertinggi dengan kekuasaan tak terbatas. Melalui MPR kekuasaan rakyat itu seolah-oleh dibagi-bagi secara vertical kepada lembaga-lembaga negara yang ada di bawahnya.

Amandemen UUD 1945 merubah kelembagaan dan kewenangan MPR, sebagaimana terbaca dalam Pasal 3, yang berbunyi sebagai berikut

(1). Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.

(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.

(3) Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.
Dengan ketentuan baru tersebut, terjadi perubahan fundamental dalam sistem ketatanegaraan kita, yaitu sistem yang vertikal hierarkis dengan prinsip supremasi MPR menjadi horizontal fungsional dengan prinsip saling mengimbangi dan saling mengawasi antar lembaga negara (checks and balances).
Perubahan UUD 1945 juga telah mengubah kekuasaan membentuk undang-undang, dari yang semula dipegang oleh presiden, beralih menjadi wewenang DPR. Disebutkan dalam Pasal 20 Ayat (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sementara Pasal 5 Ayat (1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Perubahan dalam Pasal 5 dan Pasal 20 dipandang sebagai permulaan terjadinya pergeseran executive keavy ke arah legislatif heavy. Sementara itu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga dapat mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah seperti yang diatur dalam Pasal 22D UUD 1945.
Pengaturan mengenai kekuasaan dalam membentuk undang-undang dalam UUD 1945 menunjukkan adanya keterlibatan tiga lembaga tinggi negara, yaitu DPR, Presiden dan DPD. Dengan demikian, diharapkan akan terwujud checks and balances dalam pembentukan undang-undang. Walaupun kekuasaan pembentukan undang-undang ada pada DPR, tetapi Presiden dan DPD dapat berperan dalam mengawasi dan mengimbangi dalam pembentukan sebuah undang-undang. Dengan pergeseran kewenangan membentuk undang-undang ini maka sesungguhnya ditinggalkan pula teori “pembagian kekuasaan” (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR menjadi “pemisahan kekuasaan” (sparation of power) dengan prinsip checks and balances sebagai ciri perekatnya.[9]
Mencermati pergeseran dalam pola pembentukan undang-undang di atas, sadar akan keberpihakkan UUD 1945, sebagian besar kekuatan politik di DPR menjadikan fungsi legislasi sebagai sarana untuk melanggengkan kepentingan politik.[10] Fungsi pembentukan undang-undang oleh DPR sering digunakan sebagai instrument untuk memproduksi undang-undang yang mengukuhkan supremasi DPR dan bukan dilandasi kebutuhan rasional. Sebagai wujud penerapan prinsip checks and balances dalam kaitan pembentukan undang-undang, UUD 1945 memberikan wewenang kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji materiil suatu undang-undang terhadap UUD 1945, seperti diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Hal ini merupakan bentuk checks and balances antara kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif.
Prinsip checks and balances juga diterapkan dalam hubungan antara eksekutif dan yudikatif. Dalam Pasal 14 Ayat (1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Alasan perlunya Presiden memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA) dalam pemberian grasi dan rehabilitasi karena hal itu merupakan proses yustisial. MA sebagai lembaga peradilan tertinggi  adalah lembaga yang tepat dalam memberikan pertimbangan kepada Presiden, karena grasi menyangkut putusan hakim, sedangkan rehabilitasi tidak selalu terkait dengan putusan hakim.


       Penerapannya di Indonesia

Dengan mendasarkan pada spektrum pelaksanaannya, prinsip checks and balances yang diklasifikasikan menjadi dua macam tadi yakni pelaksanaan checks and balances internal dalam cabang kekuasaan tertentu dan pelaksanaan checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan dapat digambarkan dalam penjelasan sebagi berikut.

Pelaksanaan checks and balances internal dalam cabang kekuasaan legislatif di Indonesia dapat dilihat dalam mekanisme hubungan antara MPR, DPR dan DPD. Berdasarkan rumusan dari ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” terlihat bahwa kedaulatan dikembalikan kepada kepada rakyat untuk dilaksanakan sendiri dengan dasar konstitusi. Ketentuan tersebut menghilangkan lembaga tertinggi negara sebelumnya, yaitu MPR yang selama ini dipandang sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Dengan begitu maka prinsip supremasi MPR telah berganti dengan prinsip keseimbangan antar lembaga negara (checks and balances).

Selain menghilangkan supremasi MPR, amandemen UUD 1945 telah melahirkan lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mewakili kepentingan daerah di level nasional. Meskipun pelaksanaan di lapangan tidaklah semudah yang dibayangkan, secara konseptual keberadaan DPD dimaksudkan untuk membangun mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks and balances) di internal lembaga legislatif itu sendiri.

Dalam hal fungsi legislasi misalnya, DPD memiliki kewenangan yang sangat terbatas bila dibandingkan dengan superioritas kewenangan DPR. Setidaknya fungsi legislasi DPD hanya terbatas pada dua hal. Pertama, DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Kedua, DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.



Adapun mekanisme check and balances antar cabang kekuasaan bisa dilihat pula dari hubungan lembaga eksekutif dan legislatif. Patut dicatat bahwa dalam ranah eksekutif dengan penerapan sistem presidensial, mekanisme checks and balances telah dilembagakan dalam institusi suprastruktur politik, yaitu pemisahan kekuasaan antara eksekutif dengan legislatif yang masing-masing dipegang oleh presiden dan lembaga legislatif. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat lewat pemilu. Selain itu, meskipun parlemen berfungsi sebagai pemegang kekuasaan legislatif atau pembentuk undang-undang, presiden tetap memiliki hak mengajukan RUU serta membahas RUU bersama DPR untuk kemudian dilakukan persetujuan bersama.

Dalam hubungannya dengan parlemen, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen dan hanya dapat dijatuhkan oleh parlemen jika diikuti alasan-alasan khusus dan dengan mekanisme yang khusus pula. Untuk memberikan jaminan checks and balances antara eksekutif dan legislatif, konstitusi memberikan panduan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR.



*Disampaikan dalam diskusi rutinanan PMII Rayon "Radikal" Al Faruq UIN Malang













DAFTAR PUSTAKA 



Diskusi rutinanan PMII Rayon "Radikal" Al Faruq UIN Malang

    http://rovicfoundation.blogspot.co.id/2017/02/check-and-balances-system-dan.html
Huda, Ni’matul 2005. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Yuliandri, 2009. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Mahfud MD, Moh. 1999. Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara. Yogyakarta : UII Press.
Otto Gusti Madung, 2013. Filsafat Politik; Negara Dalam Bentangan Diskurusus Filosofis
Jimly Ashiddiqie, 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara  Pasca Reformasi. Jakarta.




[1]Otto Gusti Madung, Filsafat Politik; Negara Dalam Bentangan Diskurusus Filosofis (Ledalero: Maumere, 2013, Cet. Pertama), h. 34.

[2]Jimly Ashiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara  Pasca Reformasi (Jakarta: Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, Cet. Kedua), h. 2.
[3]Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD1945 (Jakarta: Kencana, 2011, Cet. Kedua), h. 147.
[4]Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), h. 13.
[5]Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), h. 98.
[6]Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h. 184.
[7]Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rechtsstaat) (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), h. 124.
[8] Moh. Mahfud MD., 1999. Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, Yogyakarta : UII Press. hal.96.
[9] Ni’matul Huda,. Op. cit. hal. 101.
[10] Yuliandri, 2009. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. hal.84.




2 komentar:

  1. tulisan ini sudah sangat jelas dan membantu. referensi yang digunakan juga sangat bagus untuk menunjang tulisan ini. tetapi menurut saya, akan lebih baik dan lebih bagus apabila diberikan contoh perbandingan antara penerapan checks and balances di Indonesia dengan penerapan checks and balances di negara lain. agar pembaca lebih dapat mengerti dan lebih mudah memahami tentang penerapan checks and balances tersebut. terima kasih.

    BalasHapus
  2. Tulisan ini sudah sangat jelas dan membantu serta referensi yang digunakan juga dapat dipercaya. Akan tetapi, lebih baik penulis memaparkan pengertian checks and balances tersebut agar menghindari suatu ketidak pahaman bagi pembaca. Terima kasih

    BalasHapus